KAJIAN WACANA BAHASA INDONESIA
“KAJIAN WACANA BAHASA
INDONESIA”
FITRI UMI
ZAKIYAH,
PBSI 2014 C
/ 146042
A.
HAKIKAT
Wacana yang dalam bahasa Ingris
disebut discourse, merupakan rekaman peristiwa yang utuh tentang komunikasi.
Biasanya wacana merupakan unit kebahasaan yang labih besar dari pada kalimat
dan klausa dan mempunyai hubungan antara unit kebahasaan yang satu dengan yang
lain. Atau dengan kata lain, wacana merupakan satuan bahasa terlengkap; dalam
hirarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam
bentuk wavana yang utuh (novel, buku, inseklopedi, dan sebagainya), paragraph,
kalimat/klausa. Atau kata yang membawa anamat yang lengkap.
Wacana merupakan suatu peristiwa
yang terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku linguistik (atau
lainnya). Wacana dapat juga dikatakan seperangkat proposisi yang saling
berhubungan untuk menghasilkan kedaan suatu kepaduan atau rasa kohesi bagi
pendengat atau pembaca. Kohesi atau kepaduan itu sendiri harus muncul dari isi
wacana, tetapi banyak sekali rasa kepaduan yang dirasakan oleh pendengar atau
pembaca harus muncul dari cara pengutaraan wacana tersebut. Peristiwa
komunikasi yang berupa wacana, dapat dibedakan berdasarkan saluran yang
digunakan ataupun berdasarkan hal yang dipentingkan. Berdasarkan sarana yang
disalurkan ada wacana yang menggunakan bahasa lisan (spoken discourse) ada
wacana yang menggunakan bahasa tulis (written discaurse). Berdasarkan hal yang
dipentingkan ada wacana yang bersifat transaksional, jika yang dipentingkan isi
komunkasi itu ada wacana yang bersifat interaksional, jika yang dipentingkan
hubungan timbal balik.
Wacana lisan yang trasaksional bisa
berupa pidato, ceramah,atau tuturan, dakwah, deklamasi, dan lain-lain. Wacana
lisan yang interaksional bisa berupa percakapan, Tanya jawab, (antara dokter
dan pasien, antara polisi dan tersangka, antara jaksa dan terdakwa/tertuduh, dan
sebagainya), perdebatan, (dalam sidang DPR, diskusi, seminar) dan lain-lain.
Wacana lisan yang traksaksional bisa
berupa interuksi, iklan, surat, pengumuman, novel, cerpen dan lain sebagainya.
Wacana tulisan yang interaksional dapat berupa polemik, surat menyurat antara
dua sahabat, kekasih, dan lain sebagainya. Di samping itu, apa pun bentuknya,
wacana mengasumsikan adanya penyapa (abdressor) dan pesapa (addressee). Dalam
wacan lisan penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam
wacana tulis penyapa adalah panulis sedang pesapa adalah pembaca.
Analisis
wacana (discourse analysis) merupakan cabang linguistik (ilmu bahasa) yang
dikembangkan untuk menganalisis ilmu kebahasaan yang lebih besar daripada
kalimat atau klausa. Tarigan (1984:24) menyatakan bahwa analisis wacana
merupakan telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa. Dalam hal ini bahasa
digunakan secara berkesinambungan atau untaian wacana. Tanpa konteks, tanpa
hubungan-hubungan wacana yang bersifat antarkalimat dan supra kalimat, maka
peristiwa komonikasi sulit terjadi dengan baik. Dalam upaya menguraikan atau
menganalsis suatau unit kebahasaan, analisis wacana tidak terlepas dari
penggunaan piranti linguistil lainnya, seperti yang dimiliki semantik,
sintaksis, fonologi, pragmatik, dan sebagainya. Lebih dari itu, analisis wacana
dalam menganalisis tuturan berupa bahasa, agar sampai pada suatau makna yang
persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan makna yang dimaksud oleh
pembicara dalam wacana lisan atau tulisan dalam wacana tulisan, banyak
mengguanakan pola sosiolinguistik, yaitu cabang linguistik yang berupaya
menelaah penggunaan bahasa dalam konteksnya. Oleh karena itu analisis wacana
berupaya menginterpretasikan suatu tuturan yang tidak terjangkau oleh semantik
tertentu, sintaksis, maupun cabang ilmu bahasa lainnya.
B.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup analisis wacana selain
merujuk pada wujud objektif paparan bahasa berupa teks, juga berkaitan dengan
dunia acuan, konteks dan aspek pragmatik yang ada pada penutur maupun penanggap
adalah keterkaitan dengan unsur laur teks. Dalam kaitannya dengan unsur luar
teks, masalah yang dibahas meliputi :
1.
implikatur (implicature) yang
berkaitan dengan konvensi kebermaknaan kata-kata dalam pertukaran tanggapan,
2.
praanggapan (presupposition) yaitu
anggapan dasar dan pola penautan proposisi dalam kalimat baik dihadirkan atau
tidak untuk memahami suatau paparan bahasa,
3.
referensi (reference), yaitu
pengertian yang dikembangkan penutur dalam paparan bahasanya sesuai dengan hal
yang diacu,
4.
inferensi (inference) yaitu bentuk
pengambilan kesimpulan oleh penganggap sewaktu mamahami suatu paparan bahasa.
Lingkup yang berkaitan dengan aspek
tekstual antara lain meliputi: (1) ciri pengembangan topik dan temsisasi (2)
ciri struktur informasi, (3) analsisis ciri sekuensi, (4) kesatuan unit
struktur dan keselarasan relasi semantisnya, (5) prediksi tingkat keterterimaan
untaian kalimat dalam teks, dalam suatau peristiwa komunikasi.
Dalam
menguraikan butir masalah tersebut, ada anggapan dasar yang perlu diperhatikan,
yaitu (1) realitas yang bersifat ganda, memiliki suatu hubungan yang bersifat
abstrak dan holistik, (2) keberadaan suatu realistas selalu dikonsikan oleh
tata aturan tertentu sehungga sebagai sistem realitas yang mungkin untuk
dijelaskan, (3) kebermaknaan suatu realistas bukan ditentukan oleh unsur
tertentu secara isolatip, malainkan oleh keseluruhan pembangun secara holisitk,
dan (4) sebagai struktur reealitas dapat disegmentasikan unsur-unsurnya tanpa
melepaskan diri ciri tautan dalam totalitasnya.
C.
PERISTILAHAN (WACANA DAN TEKS)
Ada dua peristilahan yang sering
menimbulkan pengertian yang bermacam-macam. Kedua istilah tersebut adalah
wacana (discaorse) dan teks (text). Kedua istilah tersebut perlu diuraikan
secara jelas agar tidak menimbulkan interpretasi yang rancu. Pada satu sisi,
wacana dan teks terkesan tidak ada perbedaan, tetapai dalam kenyataan pemakaian
bahasa, kedua istilah itu memang berbeda.
Wacana lebih mengacu kepada
keseluruhan unsur yang membangun perwujudan paparan bahasa dalam peristiwa
komunikasi. Demgan demikian sebutan wacana bertalian dengan suatu sistem makro
selain menunjukkan adanya hubugan sebab akibat, di dalamnya juga terdapat
unsur-unsur yang hadir secara simultan dan memiliki hubungan secara
interdependensi.
Teks adalah adalah wujud
representasi dari wacana, wujud konkritnya selain dapat berupa bahasa lisan
(spoken discourse) juga berupa bahasa tulisan (wraitten discaourse). Apabila
tuturan lisan natural interlekutor ada dalam suatu interaksi, teks tertulis
lazimnya tidak menampilkan adanya interaksi secara langsung. Apabila kita
berangkat dari perspektif filsafa tlinguistik seperti yang menjadi dasar acuan
filsafat Strukturalisme Praha maupun Tata bahasa Fungsional analisis wacana
yang menjadi sasaran kajian adalah teks sebagai representasi wacana yang
unsur-unsurnya hadir secara simultan.
Meskipun yang menjadi sasaran kajian
dibatasi oleh teks, bukan berarti paparan bahasa itu didudukkan secara
isolatif. Untuk menafsirkan makna serta memahami ciri aspek formalnya secara
keseluruhan, penelaah secara isolatif masih harus menghubungkan teks dengan
unsur-unsur lain secara makro. Misalnya, membedakan antara kohesi tekstual yang
berkaitan dengan dengan pemerian ciri unsur dan bentuk relasi untaian kalimat
dalam, teks serta koherensi wacana yang berdasarkan penerian ciri makna secara
keselarasan hubungan antar unit semantisnya yang dihubungkan dengan dunia luar.
Ditinjau dari segi keberadaanya
secara makro, teks merupakan wujud paparan bahasa yang mengacu pada dunia luar
tertentu dan difungsikan oleh penutur untuk menyampaikan pengertian ataupun
pesan tertentu kepada penanggap, teks berupa wahana penangkap pesan, karena
seata-mata melalui paparan bahasanyalah penanggap dapat memahami pesan yang
ingin disampaikan penutur.
Pada sisi
lain, teks itu sendiri juga merupakan unit sistem yang unsur-unsurnya ada dalam
hubungan interdependensial, sehingga kata misalnyaa, tidak dapat dilepaskan
dari struktur kata kalimat, begitu juga struktur kalimat tidak dapat dilepaskan
dari kata-kata yang membangunnya.
D.
BAHASA, TINDAKAN, PENGETAHUAN, SITUASI
Bahasa, tindakan, pengatahuan, dan
situasi dalam kenyataanya tidak dapat dipisahkan. Beberapa tindakan hanya dapat
dibentuk hanya melalui bahasa (misalnya, permintaan maaf), sementara tindakan
lai juga dapat dibentuk secara verbal dan non-verbal (misalnya, menakut-nakuti
seseorang). Sementara itu, apabila kita mengetahui bagaimana suatau bahasa
digunakan dalam interaksi sosial, akan jelas bagi kita bahwa komunikasi dengan
menggunkan bahasa tidak akan berlangsung tanpa pengatahuan dan asumsi-asumsi di
antara penyapa dan pesapa dan dan dalam bahasa tulis di antara panulis dan
pembaca.
Di samping itu, komunikasi dengan
bahasa biasanya berlangsung dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, dalam
komunikasi antara bahasa dan situasi tidak dapat dipisahkan. Misalnya,
komunikasi yang dilakukan seorang teman sejawat pada umumnya akan menyapa
secara formal teman sejawat lain yang sedikit lebih senior, di depan bawahan
mereka, di kantor. Namun apabila berjumpa di pasar, sapaan itu menjadi lain
sama sekali, walaupun maksudnya hampir sama, yaitu mereka saling menyatakan
kehadiran mereka dalam hubungan tertentu. Di pasar tentulah hubungan mereka
lebih akrab daripada di kantor. Misalnya:
(1) Di kantor
A. Selamat pagi, Pak!
B. Selamat pagi.
(2) Di Pasar:
A. Wah, Mborong, Mas!
B. Ngantar ibu, belanja.
Demikian
juga dalam situasi pidato, orang cenderung menggunakan kata-kata lelah sekali,
bagus, segan dan sebagainya, sedangkan dalam pembicaraan santai di warung kopi
oleh orang tua yang sama, mungkin akan digunakan kata-kata lebih mengena ,
seperti loyo, maut, sungkan, dan sebagainya. Sedangkan waktu marah orang
mungkin akan menggunakan kata-kata seperti goblok, tidak becus, berengsek,
bukan kata-kata seperti kurang pandai, tidak mampu, kacau seperti yang
diucapakan oleh orang yang sama dalam situasi tidak marah
E.
ANALISIS WACANA DAN LINGUISTIK
Analisis wacana merupakan cabagn
linguistik. Dalam aplikasi penggunaan bahasa sehari-hari, teori linguistik,
khususnya sintaksis, dijadikan salah satu dasar penggunaan bahasa. Sehingga
dalam upaya menggurikan atau menganalis satu unit bahasa, analisis wacana tidak
terlepas dari penggunaan piranti bahasa yang lain, seperti yang dimiliki oleh
semantik, sintaksis, morfologi, fonologi, dan sebagainya.
Suatu hal
yang menarik dari analisis wacana adalah kenyataan untuk selalu
mempertimbangkan batas-batas linguistik, walaupun ada pendapat yang mengatakan
bahwa dalam memahami bahasa hendaknya mempertinbangkan unit-unit kebahasaan,
terutama teori sintaksis dalam fenomena wacana, (misalnya, A menulis B dalam
konteks C). Dalam hal ini seorang tentu ingin tahu tentang konteks tindakan
yang mana yang dijadikan acuan di antara ketiganya. Apakah hal tersebut
benar-benar linguistik? Ataukah dalam konteks sosial tertentu? Dan sebagainya.
Namun demikian, linguistik tetap menjadi dasar dalam tindak tutur, walaupun
bukan merupakan hal yang utama. Artinya pemahaman suatau wacana juga
mempertimbangkan aspek bunyi (fonologi), morfologi, sintaksis, semantik, di
samping aspek-aspek lain yang mengiringnya.
F.
ANALISIS WACANA DAN SOSIOLINGUISTIK
Sosiolinguistik dapat didefinisikan
sebagai bidang pengajian linguistik yang mempelajari ciri dan fungsi variasi
bahasa serta hubungan antara penutur serta ciri dan fungsi itu di dalam suata
masyarakat bahasa. Dalam hal ini masyarakat mempersyaratkan adanya manusia yang
bersifat sosial; tidak mungkin ada manusia sosial tanpa bahasa segbagai alat
sosialisasi dan begitu pula sebaliknya pun perilaku, yaitu tidak mungkin ada
bahasa tanpa manusia sosial. Bahasa manusia selalu muncul dalam pemakaian,
dalam konteks situasi.
Oleh karena itu pengajian bahasa
yang memadai harus memperhitungkan perspektif bahasa sebagai pengatahuan, yaitu
apa yang diketahuai manusia dan prspektif bahasa sebagai tingkah laku
sosial-bahasa dalam hubungannya dengan manusia yang bersifat sosial bahasa.
Bahasa tidak saja membawa makna fungsional berdasarkan keperluan berbahasa,
tetapi juga makna sosial yang menunjukkan keakraban, keinformalan, atau jawaban
untuk menyatakan hormat.
Dalam perilaku sosialnya, manusia
selalu sadar bahwa ia diperhatikan, ia menyadari bahawa tingkah lakunya itu
dipandang atau dinilai oleh orang lain, dan bahwa ia selalu berhati-hati agar
tindakannya tidak mengganggu hubungan dengan orang lain, bahkan ia menyesuaikan
tingkah laku dan penampilannya dengan keadaan berdasarkan siapa yang sedang
mendampinginya. Hal ini berlaku pula pada tindakannya dalam berbahasa. Orang
akan mematuhi sosiolinguistik tertentu agar tidak mengganggu orang lain dengan
mimilih ujaran yang sesuai dengan orang yang menjadi lawan bicarannya dan sesuai
dengan situasi pembicaraan.
Apabila seseorang ingin memahami dan
menggunakan bahasa tertentu, tidak cukup dengan memahami bahasa itu saja,
melainkan juga perlu mempelajari masyarakat pemakainya serta kaidah-kaidah
sosial yang banyak menentukan tingkah laku bahasa itu dalam interaksi sosial.
Suatu ujaran yang sama dapat bermakna lain karena konteks sosialnya yang lain.
Misalnya seorang ayah yang baru pulang dari kantornya, melihat meja di rung
tamu yan kurang beres mengatakan:
(3) Siapa main-main di ruang tamu itu!
Bagi Imen pembantu rumah tangga, ujaran itu ditafsirkan:
(4) Bereskan ruang tamu ini!
Bagi sang istri ujaran itu merupakan peringatan baginya
untuk senantiasa mengawasi putrinya yang masih kecil agar rajin belajar dan
tidak main-main saja, sehingga ujaran di atas dimaknai:
(5) Ani tidak belajar ya, Bu?
Sedangkan Ani yang belum membereskan ruang tamu itu setelah
memakainya bermain menafsirkan ujaran itu sebagai:
(6) Siapa saja yang memakai ruang tamu harus mengaturnya
kembali supaya rapi.
Jadi pemahaman bahasa yang lengkap adalah pemahaman bahasa
yang konteks sosialnya.
Sumber :
Brown,
Gillian.1996. Analisis Wacana. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Mulyana.
2005. Kajian Wacana. Yogyakarta:Tiara Wacana
Httpeprints.uny.ac.id83413BAB%202-06204241001.pdf
(diunduh pada tanggal 11 April 2017, 10.10)
Komentar
Posting Komentar