ANALISIS WACANA BERDASARKAN VAN DJIK, NORMAN FAIRCLOUGH
“ANALISIS
WACANA BERDASARKAN VAN DJIK, NORMAN FAIRCLOUGH”
FITRI UMI
ZAKIYAH,
PBSI 2104 C
/ 146042
A.
ANALISIS WACANA VAN DJIK
1.
HAKIKAT ANALISIS WACANA
Menurut
Eriyanto (2011:221) menyatakan bahwa Analisis Wacana
dalam studi linguistik merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal, yaitu
kajian wacana yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat
semata tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Hakikat analisis
wacana pada dasarnya adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan
perhatian pada konteks wacana di atas
kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk lebih
besar dari kalimat.
Menurut Van
Djik dalam Eriyanto (2011:221) penelitian atas wacana tidak cukup didasarkan
pada analisis teks semata, karena teks hanya berupa hasil dari praktek produksi
dimana teks-teks tersebut nerupakan bentuk proses dari kognisi sosial,
sedangkan kognisi sosial sendiri merupakan bentuk dari pendekatan lapngan
psikologi sosial. Pendekatan ini merupakan pendekatan analisis wacana yang menjelaskan
tentang struktur dan proses terbentuknya suatu teks.
Penelitian
mengenai wacana tidak bisa mengiklusi seakan-akan teks adalah bidang yang
kosong, sebaliknya ia adalah bagian kecil dari struktur besar masyarakat.
Pendekatan yang dikenal sebagai kognisi sosial ini membantu memetakan bagian
produksi teks yang melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari
dan dijelaskan. Analisis Van Djik adalah menggabungkan tiga dimensi wacana
tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah
bagian struktur teks dalam strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu
tema tertentu. pada level kognisi sosial dipelajari proses teks berita dengan
melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari
bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis
Van Djik di sini menghubungkan analisis tekstual yang memusatkan perhatian pada
teks ke arah analisis yang kooperehensif.
Hakikat Wacana Menurut Teun A Van
Djik dalam Dharma (2009: 23)
No
|
Nama Metode
|
Demensi Teoritis
(Sebuah Abstraksi)
|
Penggunaan sebagai Metode Analisis Wacana
|
Analisis Framing (Sobur, 2001; Erianto, 2002;
Hamad, 2004; Van Djik, 1988) dalam Darma, 2008:23.
|
Teori farming berbicara tentang seleksi isu yang
dimasukkan ke atau dikeluarkan dari wacana. Menurut analisis farming, dalam
wacana berlangsung proses pemilihan fakta mana yang mau diangkat, fakta mana
yang mau disembunyikan, atau fakta mana dihilangkan sama sekali. Wacana
menurut farming terdiri dari sejumlah komponen yang di isi dengan fakta-fakta
pilihan itu.
|
Terdapat beberapa varian analisis farming. Cara
menganalisiswacanadengan farming
adalahmemenuhisetiapkomponenfarming denganfakta (bagiannaska) yang
terdapatdalamsuatunaska.
-komponen Farming Gamsondan Modigliani: Metaphors,
Exemplars, Catchpharases, Depictions, Visual images, Roots, Consequences,
danappleals to principals.
-komponen farming VnDjik:Summary (Headline lead); story
(situa-tionand comments). Situation (episode and background);
commend (verbal reaction and conclusions). Episode (main evets and
consequences). Background (context and history). History (circumstances and
prevoous events). Conclusion (expectations and evaluations).
|
2.
CARA ANALISIS WACANA
Analisis wacana
adalah kebalikan dari linguistik formal, karena memusatkan perhatian pada level
di atas kalimat, seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang
lebih besar dari kalimat.Ada tiga pandangan mengenai analisis wacana. Pandangan
pertama diwakili kaum positivisme-empiris. Menurut mereka, analisis wacana
menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian bersama. Wacana
diukur dengan pertimbangan kebenaran atau ketidakbenaran menurut sintaksis dan
semantik (titik perhatian didasarkan pada benar tidaknya bahasa secara
gramatikal). Disebut Analisis Isi (kuantitatif)
Pandangan kedua
disebut konstruktivisme. Pandangan ini menempatkan analisis wacana
sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
Wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subyek yang
mengemukakan suatu pertanyaan. Pengungkapan dilakukan dengan menempatkan diri
pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang
pembicara. Disebut Analisis Framing (discourse analysis).
Pandangan
ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Analisis wacana dalam paradigma ini
menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna. Bahasa tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di
luar diri si pembicara. Bahasa dipahami sebagai representasi yang berperan
dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun
strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu analisis wacana dipakai untuk
membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa; batasan-batasan apa yang
diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang
dibicarakan. Wacana melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan.
Karena memakai perspektif kritis, analisis wacana kategori ini disebut juga
dengan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Ini untuk
membedakan dengan analisis wacana dalam kategori pertama dan kedua (discourse
analysis).
Analisis wacana
model van Dijk sering disebut ”kognisi sosial” nama pendekatan semacam ini
tidak dapat dilepaskan dari karakteristik analisis wacana model van Dijk.
Menurut van Dikj penelitian wacana tidak cukup hanya didasarkan pada
analisis teks semata, karena teks hanya hasil dari praktik produksi yang harus
diamati. Disini patut dilihat juga bagaimana suatu teks diproduksi. Sehingga
kita dapat memperoleh suatu pengetahuan tentang kenapa suatau teks bisa semacam
itu. Kalau ada teks yang memarjinalkan wanita, maka dibutuhkan suatu penelitian
yang melihat bagaimana produksi teks itu bekerja, kenapa teks tersabut
memarjinalkan wanita. Proses pendekatan dan produksi ini melibatkan suatu yang
disebut kognisi sosial.
Berbagai
masalah kompleks dan rumit itulah yang dicoba digambarakan oleh van Dijk. Oleh
karenanya van Dijk tidak mengeksklusi modelnya hanya semata menganalisis teks.
Tapi ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, kelompok kekuasaan
yang ada dalam masyarakat dan berpengaruh pada teks. Wacana oleh van Dijk
digambarkan mempuyai tiga dimensi, diantaranya : teks, kognisi sosial, dan
kontek sosial (analisis sosial). Dalam dimensi teks yang dianalisis bagaimana
struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema
tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari bagaimana proses produksi teks
berita yang melibatkan kognisi individu dari komunikator. Sedangkan, aspek
analisis sosial mempelajari bagunan wacana yang berkembang dalam masyarakat
akan suatu masalah. Namun dalam penelitian ini hanya memfokuskan pada dimensi
teks dan analisis sosial.
1.
Teks
Van Dijk
melihat suatu teks terdiri atas beberapa bagian struktur yang masing-masing
saling mendukung. Ia dalam hal ini membaginya dalam tiga tingkat. Pertama,
struktur makro, ini merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat
diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu teks.
Kedua, superstruktural yaitu merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan
kerangka suatu teks. Bagaimana bagian-bagian teks tersusun kedalam berita
secara utuh. Ketiga, struktur mikro adalah makna wacana yang diamati dari
bagian terkecil dari suatu teks semisal, kata, kalimat, proposisi, anak
kalimat, parafrase, dan gambar. Berikut dapat diuraikan satu persatu elemen
wacana model van Dijk :
Strukturwacana
|
Hal yang
diamati
|
Elemen
|
Strukturmakro
|
Tematik
Tema/ topik yang dikedepankan dalam
berita
|
Topik
|
Superstruktur
|
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita
diskemakan dalam teks berita utuh
|
skema
|
Strukturmikro
|
Semantik
Makna yang ingin ditekankan dalam
teks berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisi
satu sisi dan mengurangi detil sisi lain.
|
Latar, detil,
maksud, pranggapan, nominalisasi
|
Strukturmikro
|
Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan)
yang dipilih.
|
Bentuk
kalimat, koherensi, kata ganti
|
Strukturmikro
|
Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang dipakai
dalam teks berita.
|
Leksikon
|
Strukturmikro
|
Retoris
Bagaimana cara penekanan dilakukan.
|
Grafis,
metafora, ekspresi
|
2.
Kognisi Sosial
Dalam kerangka analisis Van Djik
pentingnya kognisi sosial yaitu kesadaran mental penulis yang membentuk teks
tersebut karna setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran,
pengetahuan, prasangka, dan pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Disini
seorang penulis tidak dianggap sebagai individu yang netral tapi individu yang
memiliki berbagai nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapat dari
kehidupannya. Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model
3.
Konteks Sosial
Konteks sosial
yaitu, bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik
pentingnya adalah untuk menunjukan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan
sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Ada dua poin yang
penti yaitu, praktik kekuasaan (power dan akses (acces)).
B.
ANALISIS WACANA NORMAN FAIRCLOUGH
1.
HAKIKAT
Norman Fairclough (Badara, 2012:26)
mengemukakan bahwa wacana merupakan sebuah praktik sosial dan membagi analisis
wacana ke dalam tiga dimensi yaitu text, discourse practice, dan sosial
practice. Text berhubungan dengan linguistik, misalnya
dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat, juga koherensi dan
kohesivitas, serta bagaimana antarsatuan tersebut membentuk suatu pengetian. Discourse
practicemerupakan dimensi yang berhubungan dengan proses produksi dan
konsumsi teks; misalnya, pola kerja, bagan kerja, dan rutinitas saat
menghasilkan berita. Social practice,dimensi yang berhubungan
dengan konteks di luar teks; misalnya konteks situasi atau konteks dari media
dalam hubungannya dengan masyarakat atau budaya politik tertentu.
Berdasarkan
hal di atas, maka dirumuskanlah suatu pengertian analisis wacana yang bersifat
kritis yaitu suatu pengkajian secara mendalam yang berusaha mengungkapkan
kegiatan, pandangan, dan identitas berdasarkan bahasa yang digunakan dalam
wacana. Analisis wacana menggunakan pendekatan kritis memperlihatkan
ketepaduan: (a) analisis teks; (b) analisis proses, produksi, konsumsi, dan
distribusi teks; serta (c) analisis sosiokultural yang berkembang di sekitar
wacana itu.
2.
PENDEKATAN
Pendekatan Fairclough dalam
menganalisa teks berusaha menyatukan tiga tradisi yaitu (Jorgensen dan
Phillips, 2007:124):
1. Analisis
tekstual yang terinci di bidang linguistik;
2. Analisis
makro-sosiologis praktik sosial (termasuk teori Fairclough, yang tidak
menyediakan metodologi untuk teks-teks khusus);
3. Tradisi
interpretatif dan mikro-sosiologis dalam sosiologi (termasuk etnometodologi dan
analisa percakapan) dimana kehidupan sehari-hari diperlakukan sebagai produk
tindakan seseorang. Tindakan tersebut mengikuti sederet prosedur dan “kaidah
akal sehat”.
3.
MODEL
Model Norman Fairclough (Eriyanto,
2001: 286) membagi analisis wacana kritis ke dalam tiga dimensi, yakni:
A. Dimensi
Tekstual (Mikrostruktural)
Setiap teks secara bersamaan memiliki tiga fungsi, yaitu
representasi, relasi, dan identitas. Fungsi representasi berkaitan dengan
cara-cara yang dilakukan untuk menampilkan realitas sosial ke dalam bentuk
teks. Analisis dimensi teks meliputi bentuk-bentuk tradisional analisis linguistik
– analisis kosa kata dan semantik, tata bahasa kalimat dan unit-unit lebih
kecil, dan sistem suara (fonologi) dan sistem tulisan. Fairclough menadai pada
semua itu sebagai ‘analisis linguistik’, walaupun hal itu menggunakan istilah
dalam pandangan yang diperluas. Ada beberapa bentuk atau sifat teks yang dapat
dianalisis dalam membongkar makna melalui dimensi tekstual, diantaranya:
1.
Kohesi dan Koherensi
Analisis
ini ditujukan untuk menunjukkan cara klausa dibentuk hingga menjadi kalimat,
dan cara kalimat dibentuk hingga membentuk satuan yang lebih besar. Jalinan
dalam analisis ini dapat dilihat melalui penggunaan leksikal, pengulangan
kata (repetisi), sinonim, antonim, kata ganti, kata hubung, dan lain-lain.
2.
Tata Bahasa
Analisis
tata bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam analisis wacana kritis.
Analisis tata bahasa dalam analisis kritis lebih ditekankan pada sudut klausa
yang terdapat dalam wacana. Klausa ini dianalisis dari sudut ketransitifan,
tema, dan modalitasnya. Ketransitifan dianalisis untuk mengetahui penggunaan
verba yang mengonstruksi klausa apakah klausa aktif atau klausa pasif, dan
bagaimana signifikasinya jika menggunakan nominalisasi. Penggunaan klausa
aktif, pasif, atau nominalisasi ini berdampak pada pelaku, penegasan sebab,
atau alasan-alasan pertanggungjawaban dan lainnya. Contoh penggunaan klausa
aktif senantiasa menempatkan pelaku utama/subjek sebagai tema di awal klausa.
Sementara itu, penempatan klausa pasif dihilangkan. Pemanfaatan bentuk
nominalisasi juga mampu membiaskan baik pelaku maupun korban, bahkan keduanya.
3.
Tema
merupakan
analisis terhadap tema yang tertujuan untuk melihat strkutur tematik suatu
teks. Dalam analisis ini dianalisis tema apa yang kerap muncul dan latar
belakang kemunculannya. Representasi ini berhubungan dengan bagian mana dalam
kalimat yang lebih menonjil dibandingkan dengan bagian yang lain. Sedangkan
modalitas digunakan untuk menunjukkan pengetahuan atau level kuasa suatu
ujaran. Fairclough melihat modalitas sebagai pembentuk hubungan sosial yang
mampu menafsirkan sikap dan kuasa. Contoh: penggunaan modalitas pada wacana
kepemimpinan pada umumnya akan didapati mayoritas modalitas yang memiliki makna
perintah dan permintaan seperti modalitas mesti, harus, perlu,
hendaklah, dan lain-lain.
4.
Diksi
Analisis
yang dilakukan terhadap kata-kata kunci yang dipilih dan digunakan dalam teks.
Selain itu dilihat juga metafora yang digunakan dalam teks tersebut. Pilihan
kosakata yang dipaaki terutama berhubungan dengan bagaimana peristiwa,
seseorang, kelompok, atau kegiatan tertentu dalam satu set tertentu. Kosakata
ini akan sangat menentukan karena berhubungan dengan pertanyaan bagaimana
realitas ditandakan dalam bahasa dan bagaimana bahasa pada akhirnya mengonstruksi
realitas tertentu. Misalnya pemilihan penggunaan kata untuk miskin,
tidak mampu, kurang mampu, marjinal, terpinggirkan, tertindas, dan
lain-lain.
B. Dimensi
Kewacanan (Mesostruktural)
Dimensi kedua yang dalam kerangka analisis wacana kritis
Norman Fairclough ialah dimensi kewacanaan (discourse practice). Dalam
analisis dimensi ini, penafsiran dilakukan terhadap pemrosesan wacana yang
meliputi aspek penghasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Beberapa dari
aspek-aspek itu memiliki karakter yang lebih institusi, sedangkan yang lain
berupa proses-proses penggunaan dan penyebaran wacana. Berkenaan dengan
proses-proses institusional, Fairclough merujuk rutinitas institusi seperti
prosedur-prosedur editor yang dilibatkan dalam penghasilan teks-teks media.
Praktik wacana meliputi cara-cara para pekerja media memproduksi teks. Hal ini
berkaitan dengan wartawan itu sendiri selaku pribadi; sifat jaringan kerja
wartawan dengan sesama pekerja media lainnya; pola kerja media sebagai
institusi, seperti cara meliput berita, menulis berita, sampai menjadi berita
di dalam media. Fairclough mengemukakan bahwa analisis kewacananan
berfungsi untuk mengetahui proses produksi, penyebaran, dan penggunaan teks.
Dengan demikian, ketiga tahapan tersebut mesti dilakukan dalam menganalisis
dimensi kewacanan.
1. Produksi
Teks
Pada
tahap ini dianalisis pihak-pihak yang terlibat dalam proses produksi teks itu
sendiri (siapa yang memproduksi teks). Analisis dilakukan terhadap pihak pada
level terkecil hingga bahkan dapat juga pada level kelembagaan pemilik modal.
Contoh pada kasus wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai
organisasi media itu sendiri (latar belakang wartawan redaktur, pimpinan media,
pemilik modal, dll). Hal ini mengingat kerja redaksi adalah kerja kolektif yang
tiap bagian memiliki kepentingan dan organisasi yang berbeda-beda sehingga teks
berita yang muncul sesungguhnya tidak lahir dengan sendirinya, tetapi merupakan
hasil negosiasi dalam ruang redaksi.
2. Penyebaran
Teks
Pada
tahap ini dianalisis bagaimana dan media apa yang digunakan dalam penyebaran
teks yang diproduksi sebelumnya. Apakah menggunakan media cetak atau
elektronik, apakah media cetak koran, dan lain-lain. Perbedaan ini perlu dikaji
karena memberikan dampak yang berbeda pada efek wacana itu sendiri mengingat
setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contoh: pada
kasus wacana media wacana yang disebarkan melalui televisi dan koran memberi
efek/dampak yang berbeda terhadap kekuatan teks itu sendiri. Televisi melengkapi
dirinya dengan gambar dan suara, namun memiliki keterbatasan waktu. Sementara
itu koran tidak memiliki kekuatan gambar dan suara, tapi memiliki kekekalan
waktu yang lebih baik dibandingkan televisi.
3. Konsumsi
Teks
Dianalisis
pihak-pihak yang menjadi sasaran penerima/pengonsumsi teks. Contoh pada kasus
wacana media perlu dilakukan analisis yang mendalam mengenai siapa saja
pengonsumsi media itu sendiri. setiap media pada umumnya telah menentukan
“pangsa pasar”nya masing-masing.
C. Dimensi
Praktis Sosial-Budaya (Makrostruktural)
Dimensi ketiga adalah analisis praktik sosiobudaya media
dalam analisis wacana kritis Norman Fairclough merupakan analisis tingkat makro
yang didasarkan pada pendapat bahwa konteks sosial yang ada di luar media sesungguhnya
memengaruhi bagaimana wacana yang ada ada dalam media. Ruang redaksi atau
wartawan bukanlah bidang atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat
ditentukan oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri. Praktik sosial-budaya
menganalisis tiga hal yaitu ekonomi, politik (khususnya berkaitan dengan
isu-isu kekuasaan dan ideologi) dan budaya (khususnya berkaitan dengan nilai
dan identitas) yang juga mempengaruhi istitusi media, dan wacananya.
Pembahasan praktik sosial budaya meliputi tiga tingkatan
Tingkat situasional, berkaitan dengan produksi dan konteks situasinya Tingkat
institusional, berkaitan dengan pengaruh institusi secara internal maupun
eksternal. Tingkat sosial, berkaitan dengan situasi yang lebih makro, seperti
sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem budaya masyarakat secara
keseluruhan. Tiga level analisis sosiocultural practice ini
antara lain:
1. Situasional
Setiap
teks yang lahir pada umumnya lahir pada sebuah kondisi (lebih mengacu pada
waktu) atau suasana khas dan unik. Atau dengan kata lain, aspek situasional
lebih melihat konteks peristiwa yang terjadi saat berita dimuat.
2. Institusional
Level
ini melihat bagaimana persisnya sebuah pengaruh dari institusi organisasi pada
praktik ketika sebuah wacana diproduksi. Institusi ini bisa berasal dari kekuatan
institusional aparat dan pemerintah juga bisa dijadikan salah satu hal yang
mempengaruhi isi sebuah teks.
3. Sosial
Aspek sosial melihat lebih pada aspek mikro seperti sistem
ekonomi, sistem politik, atau sistem budaya masyarakat keseluruhan. Dengan demikian,
melalui analisis wacana model ini, kita dapat mengetahui inti sebuah teks
dengan membongkar teks tersebut sampai ke hal-hal yang mendalam. Ternyata,
sebuah teks pun mengandung ideologi tertentu yang dititipkan penulisnya agar
masyarakat dapat mengikuti alur keinginan penulis teks tersebut. Namun, ketika
melakukan analisis menggunakan model ini kita pun harus berhati-hati jangan
sampai apa yang kita lakukan malah menimbulkan fitnah karena tidak berdasarkan
sumber yang jelas.
4.
CONTOH
Penerapan Analisis Wacana Kritis Model Norman Fairclough
Analisis Mikro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan
Festival”
Dari berbagai alat kebahasaan yang digunakan media Indonesia
dalam pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival”, terdapat tiga alat
yang menandai representasi tema dan tokoh yang terlibat dalam pemberitaan
tersebut di atas. Yaitu melalui diksi, penggunaan kalimat luas sebab akibat,
dan pemilihan sumber dalam kutipan langsung. Di bawah ini adalah analisis dari
aspek kebahasaan tersebut.
1)
Pada hari terakhir festival, Wayang
Jurnalis bakal dipentaskan sore nanti.
2)
Cerita Wahyu Cakraningrat yang
pernah dipentaskan tahun lalu akan menjadi varian tema pementasan bersama para
pengisi acara dari Aceh, Toba, Padang, Bogor, Bandung, Losari, Yogyakarta, Surakarta,
Jombang, Bali, dan Flores, serta dari Belgia, Jerman, Hongaria, Italia,
Ukraina, Meksiko, dan Amerika.
3)
Ditargetkan, sebanyak 7.500 orang
akan hadir.
Contoh
data (1) – (3) menandai bahwa untuk kasus dalam konteks yang sama, Media
Indonesia memilih diksi yang bermacam-macam, yaitu diksi bakal dan akan.
Kedua diksi tersebut memiliki makna semantik yang berlainan pula. Secara
sematik leksikal, makna kata bakal yang berarti ‘sesuatu yang akan
menjadi; calon; yang akan dibuat’ sedangkan makna kata akan berarti ‘menyatakan
sesuatu yang hendak terjadi’, sehingga kata akan memiliki makna yang lebih
netral dibandingkan kata bakal, akan tetapi dalam konteks suatu kalimat dapat
memiliki arti yang hampir sama yakni ‘hendak terjadi’.
4)
Kami ingin mengapresiasi karena para
jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor
Gunungan Festival, Iman Nur Adi.
5)
Mereka menampilkan kisah klasik
tentang wahyu keraton, Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu
dipastikan mendapat gelar raja.
6)
Mereka antara lain Media Indonesia,
Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini,
Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai, Esquire,Gohitzz.com,
Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario Kahitna.
7)
Bahkan, sebagian dari mereka yang
sudah memiliki anak juga turut mengikuti kursus tari di Wayang Bharata.
Sedangkan
contoh data (4)-(7) menandai adanya kata ganti yang digunakan dalam wacana
tersebut. Kata ganti yang digunakan antara lain kami dan mereka. kata
ganti kami pada data (4) merujuk pada para konseptor gunungan festival.
Sedangkan kata mereka pada data (5)-(7) merujuk pada para jurnalis (media
pemberitaan) yang turut serta dalam gunungan festival.
8)
Kami ingin mengapresiasi karena para
jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita.
Sementara
itu, contoh data (8) merupakan contoh data pemanfaatan strategi linguistik
yang berupa struktur kalimat. Kalimat luas pada data (8) di atas memiliki
hubungan sebab-akibat yang ditandai dengan konjungsi karena di
awal kalimat karena setelah induk kalimat.
9)
Sang produser, Trishi Setiayu,
mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir
latihan dan memberikan pentas terbaiknya
Sedangkan
contoh data (9) merupakan contoh data pemanfaatan strategi linguistik yang
berupa struktur kalimat yang memiliki hubungan sederajat karena ditandai dengan
konjungsi dan yang menyatakan kesetaraan dalam suatu kalimat.
10)
Kami ingin mengapresiasi karena para
jurnalis ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor
Gunungan Festival, Iman Nur Adi.
11)
Sang produser, Trishi Setiayu,
mengatakan setiap jurnalis yang tergabung memberikan komitmen besar untuk hadir
latihan dan memberikan pentas terbaiknya.
Selain
itu, dalam wacana tersebut juga menggunakan substitusi persona, yakni
penggantian kata ganti orang. Pada contoh data (10) kata salah satu
konseptor Gunungan Festival merupakan substitusi persona dari Imam Nur
Adi. Kemudian pada contoh data (11) kata sang produser adalah
substitusi persona dari Trishi Setiayu.
12)
Selain aspek kebahasaan secara
struktural atau gramatikal, yang tidak kalah menariknya adalah cara Media
Indonesia menyuarakan inspirasinya melalui kutipan langsung para
tokoh yang menjadi narasumber. Berdasarkan data yang ada, secara kutipan
langsung dapat diketahui bahwa Media Indonesia ingin
menyuarakan bahwa wayang dapat dimainkan oleh siapa saja yang ingin
memainkannya, sehingga mengapresiasi wayang dapat dilakukan oleh siapa pun. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan data berikut:
“Wayang
Jurnalis mewakili wayang orang dari Jakarta. Ternyata wayang bisa dimainkan
siapa pun, tidak hanya seniman. Kami ingin mengapresiasi karena para jurnalis
ini perhatian dengan tradisi kita”, ungkap salah satu konseptor Gunungan
Festival, Iman Nur Adi.
Analisis Meso Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan
Festival”
Media Indonesia terbit pertama kali pada tanggal 19 Januari 1970
sebagai koran dengan jangkauan nasional dimana koran Media Indonesia dapat
diperoleh di 33 propinsi yang tersebar di 429 kabupaten / kotamadya di seluruh
Indonesia. Direktur Utama Media Indonesia adalah Surya Paloh
dan Teuku Yousli Syah sebagai Pimpinan Redaksi.
Berdasarkan hasil survei yang dikeluarkan oleh Mark Plus
Insight menempatkan Media Indonesia pada urutan ke-3 besar
(12.22%) sebagai koran yang dibaca para eksekutif untuk mengakses berita
ekonomi dan bisnis. Readership Profile Media Indonesia adalah: 63% pria dan 37%
wanita, Usia produktif 20-49 tahun (87%), Social Economic Status A1-A2-B Class
(76%), Mayoritas pekerjaan White collars (44%), Psikografis pembaca
Media Indonesia adalah western minded, optimist dan juga settled (Sumber: Media
Indonesia online).
Visi yang diemban Harian Umum Media Indonesia adalah
menjadi surat kabar independen yang inovatif, lugas, terpercaya dan
paling berpengaruh. Independen artinya adalah menjaga sikap non-partisan,
dimana karyawannya tidak menjadi pengurus partai politik, menolak segala bentuk
pemberian yang dapat mempengaruhi objektifitas, dan mempunyai keberanian untuk
bersikap beda. Inovatif berarti terus-menerus menyempurnakan serta
mengembangkan SDM (sumber daya manusia), serta secara terus menerus mengembangkan
rubrik, halaman, dan penyempurnaan perwajahan. Lugas berarti selalu melakukan check dan re-check,
meliput berita dari dua pihak dan seimbang, serta selalu melakukan investigasi
dan pendalaman. Berpengaruh berarti dengan target bahwa Media
Indonesia dibaca oleh para pengambil keputusan, memiliki kualitas
editorial yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan, mampu membangun kemampuan
antisipatif, mampu membangun network narasumber dan memiliki
pemasaran / distribusi yang handal.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa sebagai
media terbesar ketiga, Media Indonesia merupakan harian umum
yang dapat mempengaruhi opini masyarakat Indonesia dengan cukup luas.
Rangkaian produksi teks di Media Indonesia juga bukan hanya
merupakan rangkaian yang berdiri sendiri, tetapi merupakan rangkaian
institusional yang melibatkan wartawan, redaksi, editor, bahkan pemilik modal,
dan lain-lain. Realisasi teks yang dihasilkan Media Indonesia khususnya
dalam hal pemberitaan Jurnalis Meriahkan Gunungan Festival ini juga dinilai
selaras dengan visi yang diemban yaitu, inovatif, lugas, terpercaya dan paling
berpengaruh.
Analisis Makro Pemberitaan “Jurnalis Meriahkan Gunungan
Festival”
Situasi sosial budaya yang terjadi saat pemberitaan
“Jurnalis Meriahkan Gunungan Fstival” ini tidak dapat dilepaskan kontkes
yang membangun pemberitaan tersebut. Dapat diketahui bersama bahwa pada saat
pemberitaan berlangsung, tengah terselenggarakannya Gunungan Festival, yakni
festival topeng dan wayang berskala internasional, yang keempat kalinya di Bale
Pare Kota Baru Parahyangan, Padalarang, sepanjang pekan lalu, tepatnya pada
22-24 Mei 2015. Seluruh peristiwa tersebut mendapat liputan yang luas dari
berbagai media yang ada di Indonesia termasuk Media Indonesia.
Selain hal tersebut di atas, Gunungan Festival ini merupakan
langkah untuk melestarikan kebudayaan topeng dan juga wayang yang semaki
tergerus oleh modernisasi, padahal keduanya merupakan sebuah kekayaan Indonesia
yang sangat tinggi nilainya. Dalam festival kali ini akan mengangkat wayang
sebagai tema utama dimana akan mengeksplorasi secara komprehensif, mulai dari
pertunjukkan, pameran, workshop, hingga talkshow yang masing-masing akan
disampaikan oleh pakarnya.
Festival ini juga melibatkan wayang jurnalis yang
dipentaskan pada hari terakhir festival. Wayang jurnalis memilih untuk
menampilkan kisah Wahyu Cakraningrat. Barang siapa yang mendapat wahyu itu
dipastikan mendapat gelar raja. Kisah itu pun diinterpretasikan para jurnalis
sebagai cerminan situasi politik bangsa ini. Beragam guyonan dan sindiran soal
negara pun diselipkan pada naskah yang diperankan pemimpin redaksi, managing
editor, hingga reporter dari lintas media. Mereka antara lain Media Indonesia,
Bisnis Indonesia, Kompas, Kabar24.com, Wanita Indonesia, Kartini,
Cosmopolitan, Inilah.com, Tembi Rumah Budaya, Hai,
Esquire, Gohitzz.com, Majalah Venue, dan Trax dengan bintang tamu Mario
Kahitna.
Meski tidak berkaitan secara
langsung, tetapi dapat ditarik benang merah atas pemberitaan yang dihasilkan
oleh Media Indonesia, erat kaitannya dengan eksistensiMedia
Indonesia dalam melestarikan warisan bangsa dengan mengikuti festival
tersebut. Ada motivasi tertentu dalam pemberitaan tersebut dalam
pencitraan Media Indonesia. Dengan demikian, opini pembaca digiring
untuk memberikan pencitraan positif padaMedia Indonesia sebagai
media yang aktif dan eksis dalam kegiatan pelestarian budaya bangsa.
C.
ANALISIS WACANA
1.
Hakikat Wacana
Wacana merupakan satuan bahasa yang
paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan
koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan
dapat disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan, 1987:27). Wacana merupakan istilah yang
sudah tidak asing lagi dalam dunia kebahasaan karena wacana merupakan salah
satu unsur linguistik yang banyak digunakan di dalam dunia kebahasaan.
Bagan 1. Posisi satuan-satuan gramatikal
WACANA
|
KALIMAT
|
KLAUSA
|
FRASA
|
KATA
|
MORFEM
|
FONEM
|
FONA
|
Berdasarkan paparan di atas, maka
wacana mencakup kalimat, gugus kalimat, dan paragraf. Wacana menempati posisi
terbesar dalam unsur linguistik, sehingga dalam perkembangannya,
wacana dikaji secara ilmiah. Untuk lebih memperjelas, berikut adalah pengertian
wacana menurut beberapa ahli.
Nama Ahli
|
Pengertian Wacana (discourse)
|
Kridalaksana
(dalam Sumarlamdkk, 2009:5).
|
Satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal.
|
JamesDeese
(dalam Sumarlamdkk, 2009:6)
|
Seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk
menghasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca.
|
Djajasudarma
(1994:1)
|
Rentetan kalimat yang berkaitan, menghubungkan proposisi
yang satu dengan proposisi yang lain, membentuk satu kesatuan, proposisi
sebagai isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan pernyataan
(statement) dalam bentuk kalimat atau wacana.
|
Alwi, dkk
(2000:41)
|
Rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah
makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu.
|
Oka dan Suparno
(1994:31)
|
Satuan bahasa yang membawa amanat yang lengkap
|
Sumarlam, dkk
(2009:15)
|
Satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan
seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti
cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur
lahirnya (dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur
batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.
|
Wacana dikatakan utuh apabila
kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan,
sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat-kalimatnya disusun secara
teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.
2.
Hakikat Analisis Wacana menurut Para
Ahli
Suwandi (2008:145) mengemukakan
bahwa analisis wacana pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi bahasa
atau penggunaan bahasa sebagai sarana komunikasi.Analisis wacana juga berkaitan
dengan kajian interdisipliner, seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, dan
filsafat bahasa (Oka dan Suparno, 1994:263). Kaitan ini dapat
diterima karena analisis wacana berkembang sedemikian rupa, sehingga
keberadaannya memang melibatkan beberapa kajian lain. Para sosiolinguis memperhatikan
yang berhubungan dengan interaksi sosial, terkait pula dengan penggunaan bahasa
di masyarakat.
Para ahli psikolinguistik
menganalisis wacana dari segi pemahaman ujaran, cara memproduksi dan
menggunakan bahasa, dan pemerolehan bahasa. Para ahli filsafat bahasa mengkaji
wacana dari segi semantik wacana dan unsur wacana dalam kaitannya dengan
konstruksi ujaran dalam pasangan-pasangan.Analisis wacana meletakkan titik
berat pada fungsi bahasa sebagai alat interaksi antara penulis dan pembaca atau
antara pembicara dan pendengar (Wahab, 1998:69).Analisis wacana
juga dipandang sebagai studi tentang struktur pesan dalam komunikasi (Sobur,
2002:48).
Jadi, fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi semakin tampak terwadahi dengan adanya analisis wacana.Pada
pokoknya, para analis wacana memikirkan datanya sebagai rekaman proses yang
dinamis, di mana bahasa dipergunakan sebagai alat komunikasi dalam suatu
konteks oleh seorang penulis atau seorang penutur untuk menyatakan buah
pikirannya dan menyampaikan maksudnya (Wahab, 1998:56).
Analisis wacana memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1) Bentuk kajian
tentang pembahasan wacana.
2) Bersifat
alamiah baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.
3) Bersifat
interpretatif-pragmatis baik bahasanya maupun maksudnya.
4) Inferensif,
yaitu mempunyai simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya.
5) Wujud bahasa
yang lebih jelas, karena didukung oleh situasi yang tepat.
6) Upaya untuk
menangkap makna dari penyapa (addressor) kepada pesapa (addressee)
7) Upaya untuk
mengetahui konstelasi kekuatan dalam proses produksi dan reproduksi
makna. (Darwoto,
2014)
3.
Pandangan tentang Analisis Wacana
Analisis wacana merupakan istilah
umum yang banyak dipakai dari berbagai disiplin ilmu dan dengan berbagai
paradigma/pandangan.Ada tiga pandangan mengenai bahasa, yakni sebagai berikut.
1.
Pandangan pertama, diwakili oleh
kaum positivisme-empiris/strukturalis menyatakan bahwa bahasa dilihat sebagai
jembatan antara manusia dengan objek di luar dirinya. Pengalaman-pengalaman
manusia dianggap dapat secara langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa
tanpa ada kendala. Pernyataan yang logis, sintaksis dan memiliki hubungan
dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran tersebut adalah
pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis
wacana, konsekuensi logis dari pemahaman tersebut adalah orang tidak perlu
memahami makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya. Sebab, yang
terpenting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah
sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, kebenaran sintaksis adalah bidang
utama dari aliran tersebut tentang wacana. Analisis wacana dimaksudkan untuk
menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa dan pengertian bersama. Wacana dapat
diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidakbenaran sintaksis dan semantik
(Rosidi, 2003:8).
2.
Pandangan kedua, yang diwakili oleh
kaum konstruktivisme/ fungsionalis. Aliran ini dipengaruhi oleh fenomenologi
yang menolak pandangan positivism-empiris tentang subjek dan objek bahasa
dipisahkan. Aliran konstruktivisme memandang bahasa tidak lagi dipahami sebagai
realitas objek belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan.
Konstruktivisme memandang justru subjek sebagai sentral utama dalam kegiatan
wacana.
3.
Pandangan kritis, pandangan ini
mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitive pada proses produksi
dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.
Analisis wacana dalam pandangan ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang
terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Bahasa dalam pandangan
kritis dipahami sebagai representai yang berperan dalam membentuk subjek dan
tema-tema tertentu, serta strategi di dalamnya. Karena memakai respektif
kritis, analisis wacan kategori ketiga ini juga disebut sebagai analisis wacana
kritis (Critical Discourse Analysis / CDA). Ini untuk membedakan
dengan analisis wacana dalam kategori yang pertama atau kedua (Discourse Analysis).
(Eriyanto, 2001: 6-7)
Berdasarkan
ketiga pandangan tersebut, David 1994 (dalam Arifin, 2012: 10)
mengklasifikasikan menjadi dua paradigma, yaitu paradigma formal dan paradigma
fungsional sebagai berikut :
STRUKTURAL
|
FUNGSIONAL
|
Struktur bahasa (kode) sebagai
tata
bahasa.
|
Struktur tuturan sebagai cara
berbicara.
|
Hanya sebagai alat yang dapat
berkorelasi apa yang dianalisis sebagai kode mendahului analisis penggunaan
|
Analisis penggunaan didahulukan,
kemudian analisis kode.
|
Fungsi referensi semantik dipakai
sebagai normanya
|
Pengorganisasian fitur-fitur
tambahan memperhatikan kode dan digunakan secara integral.
|
Element struktur dianalisis
(perspektif historis atau universal).
|
Stilistik dan fungsi sosial.
|
Fungsi (adaptasi), ada
keseimbanagan bahasa; semua bahasa pada hakikatnya sama.
|
Elemen dan strukturnya sebagai
pendekatan etnografis
|
Kode bersifat homogen dan
komunitas yang seragam.
|
Fungsi (adaptasi), bahasa
bervariasi, gaya, aktual, tidak semuanya sama.
|
Komunitas tuturan sebagai gaya bahasa.
|
4.
Strategi dalam Analisis Wacana
Dalam pokok bahsan ini, Jorgensen
dan Phillips (2007: 267-270) menyajikan empat strategi yang bisa digunakan
dalam analisis wacana dengan berbagai pendekatan.Keempat strategi tersebut
adalah sebagai berikut.
A. Pembandingan
Yakni
membandingkan dengan teks-teks lain secara teoritis didasarkan pada sudut
pandangan strukturalis.
B. Subtitusi
Yakni
bentuk pembandingan analis menciptakan teks sebagai pembandingnya.Dalam
strategi ini kita bergerak kea rah berlawanan dengan menyisipkan beberapa kata
yang dipilih ke dalam teks, kita mendapatkan kesan bagaimana kata-kata itu
mengubah makna teks dan dengan demikian kita memperoleh kesan bagaimana
kata-kata yang benar dipilih itu menciptakan makna-makna tertentu dalam teks
bersangkutan.
C. Membesar-besarkan
sesuatu yang terperinci
Kita
bisa membesar-besarkan sesuatu yang terperinci tersebut dan kemudian menanyakan
kondisi-kondisi apa yang diperlukan agar ciri tersebut masuk akal dan tentang
interpretasi apa yang sekiranya secara keseluruhan cocok dengan ciri tersebut.
D. Vokalitas
ganda
Menggambarkan
logika kewacanaan atau suara-suara yang berbeda dalam teks.Strategi ini
didasarkan pada premis analisis wacana tentang antartekstualitas.
Sumber :
http://kikixxxxx.blogspot.co.id/2015/06/resume-analisis-wacana-menurut-para-ahli.html
(diunduh pada tanggal 31 Mei 2017,10:10)
Badara, Aris. 2012. Analisis
Wacana: Teori, Metode, dan Penerapannya pada Wacana Media.Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Eriyanto. 2006. Analisis
Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Mayasari, dkk. 2012. Analisis
Wacana Kritis Pemberitaan “Saweran untuk Gedung KPK di Harian Umum Media Indonesia
https://raxiao18.wordpress.com/2015/05/29/analisis-wacana-kritis-norman-fairclough/
(diunduh pada tanggal 31 Mei 2017, 10:20)
Komentar
Posting Komentar