HAKIKAT ANALISIS WACANA
“HAKIKAT ANALISIS WACANA”
FITRI UMI
ZAKIYAH,
PBSI 2104 C
/ 146042
A.
PENGERTIAN
Istilah wacana digunakan
oleh para linguis Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa
Inggris discourse. Dari istilah wacana itu lahirlah istilah
analisis wacana (discourse analysis). Pengertian analisis wacana
dikemukakan oleh beberapa ahli. Pada umumnya para ahi mengemukakan,
pengertian analisis wacana melalui cara membandingkan dengan batasan wacana.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa batasan pengertian analisis wacana adalah
analisis atas bahasa yang digunakan atau bahasa dalam konteks sosial pemakaian
bahasa.
Stubbs di dalam Discourse
Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural Language (1984:1)
mengemukakan pendapatnya tentang analisis wacana, sebagaimana berikut ini. “
(Analisis wacana) merujuk pada upaya mengkaji pengaturan bahasa di atas klausa
dan kalimat, dan karenanya juga mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih
luas. Seperti pertukaran percakapan atau bahasa tulu\is. Konsekuensinya,
analisis wacana juga memperhatikan bahasa pada waktu digunakan dalam konteks
sosial, khususnya interaksi antarpenutur”.
Selanjutnya Stubbs
(1984: 7) menyatakan “However, it has become increasingly clear that a
coherent view of language, ingluding syntax must take account of discourse
phenomena”. Analisis wacana menggunakan aturan-aturan atau batasan-batasan
bahasa. Aturan-aturan itu termasuk sintaksis atau tata kalimat dan harus
memperhatikan fenomena dari wacana.
Senada dengan yang
diungkapkan oleh H. Douglas Brown seperti yang dikutip ulang oleh Sarwiji
(2008: 146) bahwa komunikasi sulit kita laksanakan tanpa adanya
hubungan-hubungan wacana yang merupakan hubungan antarkalimat dan suprakalimat
(suprasentensial) dan tanpa adanya konteks.
Brown and Yule ( 1996:
1) menjelaskan bahwa the analysis of discourse is, necessarily, the
analysis of language in use.Sependapat dengan Brown and Yule, Nunan(
1993:7) berpendapat bahwa discourse analysis involves the study of
language in use. The esertion here is the analysis of discourse involves the
analysis of language use. Norman (1997: 7) mengemukakan bahwa discourse
is use of language seen as a form of social practice, and discourse analysis of
how textwork within sociocultural practice.
Sejalan dengan beberapa
pendapat diatas, Sarwiji Suwandi( 2008: 145) mengemukakan bahwa analisis wacana
pada hakikatnya merupakan kajian tentang fungsi bahasa atau penggunaan bahasa
sebagai sarana komunikasi. Sedangkan Cook mengemukakan bahwa analisis wacana
berhubungan dengan pengkajian koherensi. Cook( 1997: 6) menjelaskan
bahwa the search for what gives discourse coherence is discourse
analysis.
Tentang fokus kajian
analisis wacana, McCharthy (1997: 5) menyertakan konteks dalam telaah
wacana. Ia menyebutkan bahwa discourse analysis is concerned with the
study of the relationship between language and the context which it is
use. Pada buku yang lain, McCharthy(1990: 52) menegaskan bahwa discourse
analysis are concerned with features that connect language with the contexts in
which it is used …. Pendapat tersebut didukung oleh
Nunan(1993: 7) bahwa context is an important concept in discourse
analysis.
Kategori konteks bahasa
yang menjadi ranah analisis wacana disebutkan pula oleh McCharthy(1997: 5),
yakni …written texts of all kinds, and spoken data, from conversation to
highly institutionalized forms to talk. Martuik (2009.http://pustaka.ut.ac.id.) menjelaskan bahwa
dalam analisis wacana berlaku dua prinsip, yakni prinsip interpretasi lokal dan
prinsip analogi. Prinsip interpretasi lokal adalah prinsip interpretasi
berdasarkan konteks, baik konteks linguistik atau koteks maupun konteks
nonlinguistik. Konteks nonlinguistik yang merupakan konteks lokal tidak hanya
berupa tempat, tetapi juga dapat berupa waktu, ranah penggunaan wacana, dan
partisipan.Prinsip interpretasi analogi adalah prinsip interpretasi suatu
wacana berdasarkan pengalaman terdahulu yang sama atau yang sesuai.
Menurut
Stubbs (1983) analisis wacana merujuk pada upaya mengkaji penggunaan bahasa di
atas kalimat atau klausa; dan oleh karenanya, analisis wacana mengkaji
satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas seperti percakapan (wacana lisan) atau
teks tulis. Berdasarkan beberapa pengertian analisis wacana tersebut,
pengertian analisis wacana membahas bagaimana pemakai bahasa mencerna apa yang
ditulis oleh para penulis dalam buku-buku teks, memahami apa yang disampaikan
penyapa secara lisan dalam percakapan, dan dengan mngemukakan pula konteks yang
menyertai teks. Dengan demikian analisis wacana berupa upaya menafsirkan
suatu wacana yang tidak terjangkau oleh semantik tertentu maupun sintaksis.
B.
SEJARAH
Sejarah analisis wacana
dalam tulisan ini mengambil intisari dari paparan yang dikemukakan Abdul
Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik (2008), Mulyana (2005) dan Sri Utari
Subyakto Nababan (2000). Berdasarkan uraian yang telah mereka kemukakan, dapat
diketahui bahwa hingga akhir tahun 1960-an, pada umumnya kajian bahasa masih
berorientasi pada kawasan mikrolinguistik, yaitu kajian bahasa yang menelaah
masalah bahasa secara internal bahasa, yakni kajian tentang tata kalimat
(sintaksis); morfologi, dan tata bunyi (fonologi).
Dalam sejarah
perkembangannya, seorang linguis kenamaan bernama Zellig S. Harris menyatakan
ketidak puasannya terhadap “tata bahasa kalimat”. Selanjutnya artikel “Discourse
Analysis” yang dimuat di majalah Languagenomor 28:1-3 dan
474-494 dipublikasikannya. Dalam tulisannya itu, Harris mengemukakan
argumentasi tentang perlunya mengkaji bahasa secara komprehensif, tidak hanya
berhenti pada aspek internal-struktural semata tetapi aspek eksternal bahasa
juga perlu dikaji untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas.
Seperti yang diungkapkan
oleh Dede Oetomo, pernyataan Harris tersebut agak melawan arus aliran
linguistik yang berkembang di Amerika yaitu aliran strukturalisme buah pikiran
Bloomfield (1887-1949) yang dengan tegas memisahkan kajian sintaksis dari
semantik dan hal-hal lain di luar kalimat (dalam Mulyana, 2005:67).
Awal tahun 1970-an mulai
berkembang kajian bahasa yang menitikberatkan pada bidang makrolinguistik,
yaitu telaah bahasa di atas tataran kalimat atau klausa. Dalam kajian
makrolinguistik, orang akan mempermasalahkan bagaimana kalimat satu berhubungan
dengan kalimat lain secara kohesif dan koheren untuk membentuk satuan
kebahasaan yang lebih besar. Salah satu bentuk kajian makrolinguistik
adalah analisis wacana (discourse analysis).
Sementara itu, di
Amerika muncul pendekatan sosiolinguistik yang dipelopori oleh Dell Hymes, yang
antara lain mengkaji masalah percakapan, komunikasi, dan bentuk sapaan,
yang nantinya berkembang menjadi kajian wacana yang lebih luas. Ia berpandangan
agak berbeda dengan pendahulunya, yaitu Chomsky. Keberterimaan menurut Chomsky
(1965) berbeda dengan keberterimaan menurut Hymes (1987). Melalui teorinya,
Tatabahasa Generatif(Generative Grammar), Chomsky berpandangan bahwa
kalimat yang gramatikal adalah kalimat yang sesuai dengan kaidah kebahasaan,
menurut aturan atau sistem bahasa yang berlaku pada bahasa itu; sedangkan
kalimat yang berterima adalah kalimat yang lebih cenderung dipilih untuk
digunakan, lebih mudah dipahami, dan lebih alami. Bagi Hymes, kalimat yang
berterima merupakan kalimat yang penggunaannya telah sesuai dengan konteks
pemakaiannya.
Analisis wacana (discourse
analysis) sebagi disiplin ilmu, baru benar-benar berkembang secara mantap
pada awal tahun 1980-an. Berbagai buku kajian wacana terbit pada dasawarsa itu,
misalnya Stubbs (1983), Brown dan Yule (1983), dan yang paling komprehensif
adalah karya Van Dijk (1985).
Analisis wacana di
Indonesia mulai diperhatikan sejak tahun 80-an bersamaan dengan munculnya
kajian pragmatic dalam bahasa Indonesia. Bahkan pragmatic tertuang secara
ekspisit dalam kurikulum pendidikan tahun 1984 di Indonesia.
C.
DATA DALAM ANALISIS WACANA
Data
dalam analisis wacana adalah wacana yang merupakan satuan bahasa. Satuan
bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Abdul Rani,Bustanul
Arifin, dan Martutik(2006: 9) menyebutkan bahwa wacana dapat berbentuk lisan
atau tulis. Lebih jelas mereka mengemukakan bahwa data dalam analisis wacana
selalu berupa teks baik teks lisan maupun tertulis.
Brown and Yule (1996: 6)
juga memakai teks sebagai istilah teknis untuk mengacu pada rekaman verbal
tindak komunikasi. Mereka juga menjelaskan tentang realisasi teks yang terdiri
atas teks tertulis dan lisan. Halliday dan Ruqaya Hasan ( 1994 :13)
mengemukakan bahwa teks adalah bahasa yang berfungsi. Yang dimaksud fungsi
adalah bahasa yang sedang melaksanakan tugas- tugas tertentu dalam konteks
situasi. Berdasarkan pengertian teks tersebut, semua bahasa yang mengambil
bagian tertentu dalam konteks situasi akan disebut teks. Bahasa tersebut mugkin
dalam bentuk tutur dan tulis.
Sri
Utari Subyakto Nababan (2000) mengemukakan bahwa ruang lingkup analisis wacana dewasa
ini sudah sangat luas. Kemudian dalam bukunya, Sri Utari subyakto Nababan
memfokuskan ruang lingkup analisis wacana dalam bentuk analisis wacana lisan
dan tulisan sebagaimana dikemukakan oleh Brown and Yule.
Selanjutnya
Halliday dan Ruqaya Hasan (1994 :97) menjelaskan bahwa kesatuan adalah sifat
teks yang sangat penting dan struktur suatu teks berkaitan erat dengan konteks
situasi. Atas dasar kaitan konteks dengan teks sebagai data dalam wacana,
konteks juga merupakan data yang dipelajari dalam analisis wacana. Konteks dan
bahasa tuturan maupun bahasa tertulis adalah hal yang tidak dapat dipisahkan.
Hal tersebut didukung oleh pendapat beberapa ahli mengenai kajian analisis
wacana.
Tentang
fokus kajian analisis wacana, McCharthy (1997: 5) menyertakan konteks
dalam telaah wacana. Ia menyebutkan bahwa discourse analysis is
concerned with the study of the relationship between language and the
context which it is use. Analisis wacana mempelajari hubungan
antara bahasa dan konteks yang melatarbelakanginya. Pendapat tersebut
didukung oleh Nunan bahwa konteks adalah konsep penting dalam analisis
wacana. Nunan(1993: 7) menyebutkan context is an important concept in
discourse analysi. Kategori konteks bahasa yang menjadi ranah analisis
wacana disebutkan pula oleh McCharthy(1997: 5), yakni … written texts
of all kinds, and spoken data, from conversation to highly institutionalized
forms to talk.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, data
kajian analisis wacana yang akan dikemukakan dalam pembahasan pada tulisan ini
adalah data berupa teks lisan, teks tertulis, dan konteks.
Sumber :
https://imrokatullaili.wordpress.com/2015/05/12/hakikat-analisis-wacana/
(diunduh pada tanggal 28 Mei 2017, 14:00)
Djajasudarma,
Fatimah. 1994. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung:
Eresko.
Eriyanto.
2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:
LKIS Printing Cemerlang.
Komentar
Posting Komentar